Minggu, 06 Oktober 2013

Menguak Godfather-nya Banten, Dari Haji Chasan Sochib hingga Ratu Atut

Bersinar.com-Mengungkap "Cendananya" Banten H.Tb.Chasan Sochib atau lebih dikenal dengan sebutan Haji Kasan "GODFATHER"
Merupakan Tokoh Banten yang paling berani, sehingga menempatkannya berhadapan dengan H.Tb.Chasan Sochib yang selama ini dikenal sebagai 'informal leader' atau GODFATHER di banten. 

Selama puluhan tahun tidak ada satupun tokoh yang berani berbeda pendapat dengan haji kasan, sehingga menyebabkan h kasan menjadi orang yang cenderung berlaku sewenang-wenang di Banten. Semua jabatan pada organisasi bisnis KADIN-GAPENSI dan lain sebagainya dipegang dengan maksud melakukan monopoli terhadap kesempatan bisnis yang ada di banten. 


Telah menjadi rahasia umum bila seluruh pejabat di propinsi banten, baik KAPOLDA, DANREM, KAJATI, dan lain sebagainya tidak pernah berani mengungkap kasus kasus dugaan korupsi dan pungutan terhadap para pengusaha yang dilakukan oleh haji kasan dan keluarganya.

Terlebih kebijakan ATUT CHOSIYAH selaku anak kandungnya yang menjadi Gubernur, hampir selalu menguntungkan keluarga Haji kasan melalui H.Tb. Chaeri Wardana atau yang dikenal dengan H.Wawan.
Tahun 1960-an, nun jauh di pe­dalaman Banten, seorang jawara bernama Tubagus Chasan Sochib melakukan pengawalan bisnis beras dan jagung antarpulau Jawa-Sumatera. Tak cukup hanya meng­awal, sang jawara mulai merin­tis bisnisnya sendiri dengan menjadi penyedia kebutuhan logistik bagi Kodam VI Siliwangi (Gandung Ismanto, Asasi, Nov-Des, 2010). Kodam Siliwangi juga berkepentingan atas kestabilan politik di Banten. Mereka membutuhkan orang lokal untuk menjadi perpanjangan tangan di daerah. Di mata para komandan Ko­dam IV Siliwangi, Banten adalah daerah yang rawan dipengaruhi oleh kekuatan komunis baik sebelum dan sesudah tragedi 1965.

Atas dalih kepentingan politik keamanan dan ekonomi di Banten, Chasan Sochib men­dapat­kan banyak keistimewaan dari Kodam VI Siliwangi dan Peme­rintah Jawa Barat. Sebagian besar proyek pemerintah khususnya di bi­dang konstruksi banyak diberi­kan kepada Chasan Sochib. Tahun 1967, Chasan Sochib mendirikan PT. Sinar Ciomas Raya yang sampai saat ini merupa­kan perusahaan terbesar di Banten, khususnya di bidang konstruksi jalan dan bangunan fisik lainnya (van Zorge Report, Januari 21, 2010). Untuk me­man­tap­­kan bisnisnya, Chasan Sochib menguasai sejumlah organisasi bisnis seperti Kamar Dagang dan Industri Daerah Banten, Ga­bung­an Pengusaha Konstruksi Nasio­nal Indonesia Banten, dan Lem­baga Pengembangan Jasa Kon­struk­si Nasional Indonesia Banten.

Ketika terjadi reformasi, Chasan Sochib mampu mentransformasi diri ke dalam struktur politik dan ekonomi yang baru. Meminjam kerangka teoritis Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004), Chasan Sochib adalah the old predator yang mampu mereor­gani­sir kekuasaannya sehingga dia tak lenyap digerus arus perubah­an. Chasan Sochib mampu menjelma menjadi the new predator yang menguasai arena politik, ekonomi, sosial-budaya di Banten. Bahkan, dalam kasus Banten, Chasan Sochib jauh lebih ber­kuasa saat ini dibandingkan dengan­ era Orde Baru.

Pada awal perubahan di Banten, Chasan Sochib sinis melihat gerakan dari sejumlah pihak yang menuntut Banten menjadi provinsi baru. Chasan Sochib khawatir bahwa perubahan ini akan mengancam keberlangsung­an relasi bisnis dan politiknya dengan­ pejabat di Provinsi Jawa Barat. Namun seiring dengan makin membesarnya arus gerakan pembentukan Provinsi Banten, Chasan Sochib segera berbalik dan berperan aktif.

Perpindahan posisi ini menyelamatkan masa depan bisnis dan politiknya di Banten. Dengan kekuatan finansialnya, Chasan Sochib membantu gerakan peme­kar­an dan mendapatkan peng­akuan sebagai tokoh pembentuk­an Provinsi Banten. Setelah Banten menjadi provinsi, Chasan Sochib mulai lebih agresif me­nyusun kekuatan politiknya. Dulu pada masa Orde Baru, Chasan Sochib hanya bertindak sebagai client capitalism (meminjam istilah Richard Robison, 1990) yang sangat bergantung pada koneksi dengan pejabat sipil dan militer, tetapi tidak aktif dalam merancang siapa yang berkuasa atas politik Jawa Barat. Dengan adanya struktur politik yang baru, Chasan Sochib bertindak secara aktif menentukan siapa yang menjadi penguasa di Banten.

Kepemimpinan wanita sudah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia sejak terpilihnya Megawati sebagai Presiden Wanita pertama di Republik ini. Kepemimpinan wanita sudah menjadi tren tersendiri yang mampu mewarnai nuansa kompetisi kepemimpinan yang sebelumnya didominasi oleh kaum pria. Sudah semakin banyak perempuan yang memimpin suatu daerah, sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, bupati maupun walikota. Sebut saja, Hj. Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten), Dra. Hj. Rustriningsih, M.Si (Wakil Gubernur Jawa Tengah), Hj. Rina Iriani S. Ratnaningsih, S.Pd (Bupati Karanganyar), Hj. Airin Rachmi Diany (Walikota Tangerang Selatan), Hj. Ratu Tatu Chasanah, SE, M.Si (Wakil Bupati Serang), Hj. Heryani (Wakil Bupati Pandeglang) dan masih banyak lainnya.

Bermula dari upaya memaju­kan Ratu Atut sebagai calon wakil gubernur dan sukses memenang­kan­nya, Chasan Sochib me­ran­cang anggota keluarga besar­nya untuk aktif terlibat di bidang politik, ekonomi, sosial dan bu­daya. Hasil­nya sangat sukses (lihat ilustrasi di atas). Chasan Sochib memang tak me­megang jabatan publik, tetapi sebagaimana pengakuan dirinya bahwa dia adalah “gubernur jenderal” menunjukkan bahwa dia adalah penguasa se sungguhnya di Banten.

Kekhawatiran otonomi daerah akan melahirkan raja-raja kecil beralasan. Masyarakat terjebak dalam semangat primordialisme sehingga mengagungkan hubungan darah untuk melanggengkan kekuasaan, seperti yang dilakukan raja pada abad lalu.

Otonomi daerah, tidak bisa diingkari, melahirkan patron baru dalam perpolitikan lokal. Politik kekerabatan pun kian kental terlihat, tak terkecuali di Banten. Hampir semua akses politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan dikuasai kelompok tertentu yang terikat hubungan darah dan kedekatan personal.

Sudah menjadi rahasia umum jika keluarga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menguasai sejumlah jabatan strategis dalam politik dan pemerintahan di Banten. Mereka juga terlibat dalam berbagai jabatan informal.

Ratu Atut mengawali karier politiknya setelah Provinsi Banten terbentuk, 4 Oktober 2000. Dengan dukungan penuh dari ayahnya, Tubagus Chasan Sochib, ia terpilih menjadi Wakil Gubernur Banten pertama mendampingi Gubernur Djoko Munandar. Keduanya mendapat suara terbanyak dalam pemilihan oleh anggota DPRD Banten untuk menjadi kepala daerah periode 2002-2007.


Karier politik Atut mulai menanjak saat Djoko dinonaktifkan sebagai gubernur, Oktober 2005, setelah menjadi terdakwa penyalahgunaan dana tak tersangka APBD Banten tahun 2003. Dana Rp 14 miliar yang seharusnya dipakai untuk membiayai penanganan bencana malah dipakai membayar dana tunjangan perumahan bagi anggota DPRD Banten periode 2001-2004 dan tunjangan kegiatan panitia anggaran DPRD.

Meski terbukti tak memperkaya diri sendiri, Desember 2005, Djoko divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Serang. Ia meninggal pada Desember 2008, beberapa bulan sebelum Mahkamah Agung memutuskan tak bersalah dalam kasus penyalahgunaan dana tak tersangka APBD 2003.

Keputusan Menteri Dalam Negeri (saat itu) M Ma’ruf menonaktifkan Djoko memuluskan jalan Atut untuk menempati jabatan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten. Jabatan itu adalah pintu masuk pencalonan sebagai Gubernur Banten periode 2007- 2012. Ia, bersama M Masduki, dengan mudah memenangi Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) 2006. Inilah awal praktik politik kekerabatan di Banten.

Pilkada Kabupaten Tangerang, Januari 2008, menjadi obyek menguji coba kekuatan keluarga Atut di daerah. Adik iparnya, Airin Rachmi Diany, mencalonkan diri menjadi wakil bupati Tangerang mendampingi politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Jazuli Juwaeni. Namun, istri Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan (adik kandung Atut) itu gagal memenangi pilkada. Suara yang mereka peroleh di bawah perolehan suara Ismet Iskandar-Rano Karno.

Adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman, mencalonkan diri menjadi wakil wali kota Serang mendampingi Bunyamin yang menjabat sebagai Bupati Serang periode 2000-2005. Pasangan ini bersaing dengan tujuh pasang kandidat lain memperebutkan sekitar 300.000 suara pada pilkada, Agustus 2008. Pasangan ini ke putaran kedua bersama pasangan Jayengrana-Deden Apriandi. Bunyamin-Jaman memenangi putaran kedua pilkada, Oktober 2008.

Pada waktu yang hampir bersamaan, Ratu Tatu Chasanah, adik kandung Atut lainnya, mengikuti Pilkada Kabupaten Lebak. Tatu sempat melamar menjadi calon wakil bupati mendampingi Mulyadi Jayabaya, tetapi ditolak. Dia pun gagal mengikuti Pilkada Lebak yang digelar Oktober 2008.

Kegagalan Airin dan Tatu tak menyurutkan semangat mereka. Pemilu 2009 menjadi hajat besar bagi keluarga Hasan Sochib.


Suami Atut, Hikmat Tomet, mencalonkan diri sebagai anggota DPR dari Partai Golkar. Andika Hazrumy, anak sulungnya, sebagai calon anggota DPD. Istri Andika, menantu Atut, Ade Rossi Chaerunnisa mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kota Serang.


Tatu maju menjadi calon anggota DPRD Banten dari daerah pemilihan Pandeglang. Adik ipar Atut, Aden Abdul Khaliq, juga melamar menjadi anggota DPRD Banten. Dua ibu tiri Atut, Ratna Komalasari dan Heryani, mengincar kursi legislatif. Ratna menjadi anggota DPRD Kota Serang dan Heryani menjadi anggota DPRD Pandeglang.

Mereka memiliki modal akses politik, ekonomi, dan sosial kemasyarakatan. Keluarga besar Atut menguasai berbagai jabatan informal. Hikmat Tomet, misalnya, menjabat Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Banten. Andika menjadi Koordinator Taruna Tanggap Bencana (Tagana) Banten, Bendahara Karang Taruna Banten, dan Wakil Ketua Gerakan Pemuda Ansor Banten. Ade Rossi adalah Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kota Serang.

Tatu menjadi Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Banten dan Airin adalah Ketua PMI Kota Tangerang Selatan. Tatu juga menjabat Ketua Dewan Koperasi Indonesia Banten, Ketua Gerakan Nasional Kepedulian Sosial Banten, serta Ketua Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia Banten.

Keluarga ini menguasai jabatan dalam partai politik pula. Ratu Atut menjadi salah seorang ketua di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Hikmat Tomet adalah Ketua Partai Golkar Banten, Tatu Ketua Partai Golkar Pandeglang, dan Tubagus Chaeri Wardana adalah Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Banten. Adik tiri Atut, Ratu Lilis Karyawati (istri Aden Abdul Khaliq), adalah Ketua Partai Golkar Kota Serang.


Tahun 2010, Tatu mencalonkan diri sebagai Wakil Bupati Serang mendampingi Taufik Nuriman. Pasangan Taufik-Tatu telah mendeklarasikan pencalonannya, Minggu lalu. Airin juga disebut-sebut akan menjajal peruntungannya dengan mencalonkan diri sebagai Wali Kota Tangerang Selatan.

Budaya politik kekerabatan tak hanya diterapkan keluarga besar Atut. Bupati dan wali kota di provinsi muda itu pun berusaha melanggengkan kekuasaan dengan menempatkan sejumlah kerabat dalam jabatan politik dan pemerintahan serta jabatan informal lainnya. Dimyati Natakusumah dan istrinya, Irna Narulita, tahun lalu menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Dimyati sebelumnya adalah Bupati Pandeglang. Tahun ini, Irna dikabarkan mencalonkan diri sebagai Bupati Pandeglang.

Anak kandung Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya, yakni Iti Oktavia, terpilih menjadi anggota DPR dari Partai Demokrat. Adik Bupati Lebak, Mulyanah, terpilih menjadi anggota DPRD Lebak. Suaminya, Agus R Wisas, menjadi anggota DPRD Banten.

Ahmed Zaki Iskandar Zulkarnaen, anak kandung Bupati Tangerang Ismet Iskandar, pun lolos ke Senayan. Begitu pula Tubagus Iman Ariyadi, anak Wali Kota Cilegon Tubagus Aat Syafaat, terpilih menjadi anggota Fraksi Partai Golkar DPR.

Tahun ini, Iman akan terjun dalam bursa Pemilihan Wali Kota Cilegon didampingi Edi Ariadi, Sekretaris Kota Cilegon.

Budaya itu akan menjadi kemajuan bagi demokrasi apabila tak hanya menekankan hubungan darah, tetapi juga kompetensi dan kemampuan. Sebaliknya, jika hanya didasarkan pada hubungan darah, itu adalah kemunduran bagi demokrasi.

Dinasti Chasan Sochin memang telah merajai politik di Banten, tetapi ada sejumlah kelompok yang terus melakukan perlawanan terhadap kekuasaan tersebut. Diantara­ lawan-lawan politik terdapat­­ elite-elite politik yang me­ng­uasai sejumlah daerah di Ban­ten dan kelompok politik Islam.

Kelompok-kelompok elite po­­litik itu sebenarnya juga membang­un dinastinya masing-masing. Di Kabupaten Lebak, Mulyadi Jayabaya yang menjabat sebagai Bu­pati Lebak berhasil mengantar­kan kedua puterinya, Diana Jayabaya sebagai anggota DPRD Provinsi Banten dan Iti Oktavia Jayabaya sebagai anggota DPR RI. Adik perempuannya, Mulyanah, terpilih menjadi ang­go­ta DPRD Lebak. Demikian juga suami Mulyanah, Agus R Wisas, menjadi anggota DPRD Ban­ten.

Di Pandeglang ada Dimyati Natakusumah, mantan Bupati Pandeglang (Ketua DPW PPP Banten) yang berhasil meng­antar­kan isterinya, Irna Narulita Dimyati sebagai anggota DPR RI. Di Kota Tangerang, terdapat nama Wahidin Halim yang telah ber­­kuasa sebagai Walikota Tangerang­ selama dua periode. Adiknya Wahidin, Suwandi sempat maju sebagai bakal calon Walikota Tangerang Selatan tetapi gagal.

Di Kabupaten Tangerang, Bupati Ismet Iskandar mengantarkan kedua putera-puterinya sebagai anggota legislatif (Ahmed Zaki Iskandar Zulkarnaen terpilih se­bagai anggota DPR RI dan Intan Nurul Hikmah menjadi Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tangerang).

Dalam sejumlah pemilukada, elite-elite lokal berperang memperebutkan kekuasaan. Di Lebak, Mulyadi Jayabaya pernah menolak lamaran Ratu Tatu Chasanah untuk menjadi calon Wakil Bupati Lebak.

Di Kabupaten Pandeglang, Irna Narulita Dimyati berhadapan dengan Heryani dalam pemilukada 2010. Di Kabupaten Tange­rang, Ismet Iskandar berhasil me­ng­alahkan Airin dalam pemilukada 2008. Tahun 2012, akan diada­kan Pemilukada Gubernur Banten. Wahidin Halim dan Mulyadi Jayabaya mulai meramaikan bursa pencalonan bersaing dengan Ratu Atut Chosiyah. Tensi politik cukup tinggi sehingga Chasan Sochib mengirimkan surat kecaman terhadap Wahidin dan Mulyadi.

Kelompok politik Islam mem­punyai kekuatan yang signi­fikan di Banten. Sejak dulu, Banten dikenal sebagai wilayah yang kental nuansa Islamnya. Islam tak hanya mempengaruhi reli­giusitas tetapi juga dunia politik di Banten, seperti pemberlakuan Syariat Islam di sejumlah kabupa­ten­.

Kelompok politik Islam menentang dinasti Chasan Sochib. Mulai dari isu akhlak ang­gota dinasti Chasan Sochib sampai pada soal rencana pemberlakuan Syariat Islam untuk Provinsi Banten yang ditolak oleh dinasti Chasan Sochib.
Perubahan kultur politik Banten­ tak bisa bergantung pada perlawanan kedua kelompok politik diatas, yakni elite lokal dan politik Islam. Para elite politik lokal yang menentang dinasti Chasan Sochib juga melakukan praktik politik serupa, yaitu membentuk dinasti politiknya masing-masing. 
Selain itu, ada pula elite politik yang pada awalnya menentang keras kekua­saan dinasti Chasan Sochib ternyata berbalik. Taufik Nuriman (Bu­pati Serang) dan Benyamin Davnie adalah contoh dari elite politik yang berbalik posisi politiknya. Taufik Nuriman pernah berseteru de­ngan­ Chasan Sochib. Keduanya saling melaporkan pencemaran nama baik ke Kepolisian Banten.

Namun, pada Pemilukada Ka­bupaten Serang tahun 2010, Taufik Nuriman malah meng­gan­deng Ratu Tatu Chasanah, anak dari Chasan Sochib. Benyamin Davnie sempat maju menjadi calon wakil gubernur dari PKS menantang Ratu Atut yang maju sebagai calon gubernur dari Partai Golkar dalam Pemilu­kada Provinsi Banten 2007. Da­lam pe­mi­lukada tahun 2010 di Kota Tange­rang Selatan, Benyamin Davnie mendampingi Airin yang tak lain adalah adik ipar dari Ratu Atut.

Perlawanan yang diberikan oleh kelompok Islam juga tak bisa diharapkan. Meski mereka keras memperjuangkan keyakinan politik Islam, tak jarang mereka bersekutu dengan dinasti Chasan Sochib. Kembali pada kasus Taufik Nuriman yang didukung oleh PKS banyak mempraktekkan nilai-nilai syariat Islam di Kabupa­ten Serang, tetapi akhirnya ber­koalisi dengan dinasti Chasan Sochib.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menemukan kerugian negara hampir Rp 1 triliun dalam penyelewengan APBD Banten tahun 2007-2010.
Teranyar menjadi sorotan adalah penggunaan dana hibah APBD Rp 391 miliar yang sebagian besar mengalir ke lembaga atau organisasi yang dipimpin oleh kerabat Atut sendiri. Kejanggalan dana hibah ini sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Lalu seperti apa kekayaan Atut? Atut termasuk gubernur yang kaya raya. Ia pernah masuk daftar dalam 25 gubernur terkaya di Indonesia. Pada tahun 2002, ia menjadi gubernur terkaya ketujuh dengan kekayaan Rp 17.810.707.822 .

Sementara gubernur terkaya nomor satu, saat itu diduduki oleh Rudolf Mazvoka Pardede Gubernur Sumut dengan kekayaan Rp 298.740.200.000.

Banyak pihak menduga kekayaan Atut sudah melimpah ruah setelah hampir 10 tahun memimpin Banten baik sebagai wakil gubernur hingga kini menjadi gubernur. Apalagi setelah sang ayah, Haji Tubagus Chasan Sochib atau Abah Chasan, meninggal dunia. Sang ayah yang memiliki banyak usaha dan kekayaan tentu turut mewariskan harta yang tidak sedikit untuk putri sulungnya ini.

Peluang untuk menghentikan angkara kekuasaan di Banten terbuka lebar dengan banyaknya kasus yang menimpa keluarga besar dinasti Chasan Sochib. Kasus-kasus itu meliputi isu ko­rupsi, penyalahgunaan wewenang, penggunaan ancaman kekerasan, politik uang dan kecurangan dalam pemilu dan pemilukada. Hampir semua anggota dinasti Chasan Sochib pernah dilaporkan ke kepolisian, kejaksaan, KPK, KPU sampai MK. Memang tak satupun anggota keluarga Chasan Sochib yang dihukum, tetapi praktik politik dinasti Chasan Sochib harusnya membuka mata urang (rakyat) Banten untuk segera memulai perubahan

SUmber : voa-islam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar