Jumat, 11 Oktober 2013

Iran, Amerika, dan Perselingkuhan Babak Baru di Dunia Arab

Bersinar.com-Ada yang menarik mencermati langkah Presiden baru Iran Hassan Rouhani dalam kebijakan politiknya. Meski baru terpilih beberapa bulan lalu, Rouhani tampil secara terbuka untuk membawa Iran menjadi negara yang menunjukkan itikad menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat (AS). Secara tegas Rouhani mengimbau kelompok ulama konservatif Iran untuk mengubah cara pandang piciknya mengenai masyarakat dalam dunia.
Bagi Iran, meyambung tali ‘silaturahim’ dengan AS, tampaknya menjadi opsi yang paling rasional guna membendung gerakan Islam di dunia Arab. Selain itu, persahabatan antara Iran dengan AS akan membuka kebuntuan ekonomi bagi kedua negara.

Kebuntuan Ekonomi
Iran dan AS memang selama ini tampak malu-malu untuk secara terbuka mengakui sebagai negara yang saling membutuhkan. Data BPS AS (Census Bureau), misalnya, per 15 Oktober 2012 saja menunjukan, nilai perdagangan AS ke Iran sepanjang 8 bulan pertama 2012 tercatat mencapai US$199,5 juta. Itu artinya klaim embargo yang selama ini didengungkan AS tidak terbukti, karena tingkat perdagangan AS ke Iran justru naik US$48,7 juta.
Tentu stabilitas hubungan kedua negara inilah yang secara jujur sangat dirindukan bagi Iran. Dengan kondisi kemiskinan yang cukup merata di Iran, stabilitas ekonomi adalah keniscayaan yang harus dilakukan pemerintah.
Menteri ekonomi Ali Tayyebnia sendiri telah memperingatkan pada Agustus lalu bahwa jumlah pengangguran resmi negara itu kini mencapai 3,5 juta orang atau 11,2 persen dari angkatan kerja, dan bisa bertambah menjadi 8,5 juta akibat gelombang baru anak-anak muda yang akan memasuki pasar tenaga kerja.
Maka menarik menyimak pernyataan seorang supir Taxi bernama Morteza saat diwawancara media jerman DW. “Terputusnya hubungan diplomatik antara AS dan Iran harus segera diakhiri,” tegasnya.
Mencermati situasi ini, saya jadi teringat perkataan Sejarawan Iran Ali Nourizadeh.“Jutaan rakyat Iran akan berunjuk rasa mendukung Amerika jika isu yang diangkat adalah membuka kembali hubungan Iran dengan Amerika,” katanya.
Kesempatan bagi pertemuan langka antara Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry dengan rekannya Menlu Iran Mohammad Javad Zarif juga menarik disimak. Pembicaraan diawali dengan jabat tangan antara Kerry dengan Zarif saat pertemuan di New York, September lalu. Zarif dan Kerry duduk bersebelahan di pojok meja berbentuk U selama pertemuan para menlu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Posisi duduk yang dekat ini ditafsirkan sebagai hasrat besar diantara keduanya untuk mencoba menghapus ketegangan. “Kami telah melakukan pertemuan yang sangat konstruktif,” kata Kerry kepada para wartawan setelah pertemuan para Menlu DK PBB. Tapi Kerry menambahkan, ”Masih banyak yang harus dikerjakan.“
Usai pertemuan, Zarif juga mengungkapkan kepuasan yang senada. “Saya puas dengan langkah pertama ini. Sekarang kita harus melihat apakah kita bisa menyesuaikan kata-kata positif dengan perbuatan serius agar kita bisa melangkah ke depan,“ tambahnya
Bahkan dari New York, Zarif menulis melalui Twitternya bahwa: “Kita punya kesempatan bersejarah untuk memecahkan masalah nuklir jika kekuatan dunia bersedia menyesuaikan diri dengan “pendekatan baru Iran“.
Kepentingan Bersama untuk Melawan Common Enemy
Selain hubungan Ekonomi, sebenarnya ada satu kepentingan sama yang menjadi proyek bagi Syiah dan Amerika di dunia Arab, yakni menghalau tegaknya negara teroris yang mereka tujukan kepada Mujahidin Suriah yang berjihad atas nama Allah untuk menegakkan Daulah Islam. Sungguhlah aneh ada negara yang mengklaim Republik Islam tapi menghalau upaya tegaknya Syariat Islam di Suriah.
Kenapa? Karena Mujahidin Suriah adalah kelompok Ahlussunah yang kafir dalam konsep agama Syiah. Di satu sisi Syiah mudah sekali menyematkan istilah “Takfiri” kepada kelompok Ahlussunah, tapi di sisi lain justru Syiah lah yang memendam ideologi takfiri yang mengerikan.
AS dan Iran benar-benar disatukan dalam urusan ini. Sebab kemenangan mujahidin di Suriah adalah sinyal kematian bagi Syiah dan Zionis. Bayangkan saja dengan persenjataan sederhana dan tanpa mendapat bantuan apapun dari dunia internasional, Mujahidin Suriah berhasil membebaskan 60-80% daerah Suriah.
Kemenangan mujahidin juga mengkhawatirkan Amerika, apalagi dalam beberapa pertempuran para mujahidin berhasil menguasai senjata-senjata berat, setelah melumpuhkan beberapa markas dan pangkalan militer Assad.
Dalam pelumpuhan bandara Menneg di Aleppo, misalnya, beberapa senjata berat termasuk tank T-72, senjata-senjata anti Tank, senapan mesin berat, senjata anti pesawat 57 mm  dirampas para pejuang. Termasuk ratusan rudal anti tank yang bisa dikendalikan. Dengan sistem  ATGM-(Anti Tank Guided Missile), tank-tank Assad bisa dihancurkan.  Hal ini akan sangat menyulitkan tentara Assad yang mengandalkan senjata berat, tank, dan pesawat tempur.
Iran dan AS sangat memiliki kepentingan untuk melakukan segala cara guna menghadapi ancaman ini, termasuk bekerjasama untuk memerangi mujahidin di Suriah. Maka melihat situasi ini, maka kita pun akan mudah membaca siapakah sasaran sebenarnya dari Invasi AS ke Suriah. Tidak lain dan tidak bukan adalah Mujahidin.
Kalaulah memang tujuan AS menyerang Suriah untuk menjatuhkan Assad, kenapa AS baru melakukan sekarang setelah revolusi berjalan dua tahun? Kalaulah Alasan AS menyerang Suriah untuk melucuti senjata kimia, kenapa AS tidak melakukan hal yang sama kepada Israel? Bukankah Israel juga menggunakan White phosphorus ketika membunuh ribuan muslim Palestina?
Belajar dari Afghanistan
Kondisi di Suriah amatlah persis dengan apa yang terjadi di Afghanistan. Di mana Iran mendukung pendudukan Amerika dan mendukung konstitusi yang ditetapkan Amerika. Iran jualah yang mendukung pemerintahan boneka Afghan bentukan Amerika. Dalam era Rafsanjani saja, Iran menegaskan jaminan Pasukan Iran di daerah utara Afganistan ketika Amerika gagal dalam mengalahkan Taliban. Mantan presiden Iran, Rafsanjani, menyebutkan, “Seandainya kekuatan Iran tidak membantu dalam memerangi Taleban, niscaya orang-orang Amerika terjerembab dalam lumpur Afghanistan” (ash-Sharq al-Awsath, 9/2/2002)
Demikian pula di era Ahmadinejad. Tahun 2011 Teheran menggelar Konfrensi Kontraterorisme di Teheran 2011 dengan mengandeng dua Hamid Karzai dan Asif Zardari. Siapakah yang dimaksud Terorisme dalam termin Iran? Ya jelas para mujahidin yang berada di balik Imarah Islam Afghanistan.
Maka, Ahmadinejad sangat berkepentingan untuk memastikan para penerusnya untuk menjalankan misi “Amerika dan Syiah” ini. Tidak heran, Ahmadinejad mendukung habis-habisan Capres Iran Pro AS Esfandiar Rahim Mashaei.
Besan Ahmadinejad ini memang dikenal sebagai Kepala Staf Presiden Iran yang terus mengupayakan perdamaian antara Iran dengan Israel. Berbicara di sebuah konvensi pariwisata di Teheran, Juli 2008, Mashaei ini mengatakan: “Tidak ada bangsa di dunia ini yang menjadi musuh kita,” tegasnya. “Iran adalah teman bangsa Amerika Serikat dan di Israel, dan ini adalah suatu kehormatan!” pekiknya.
mashaei Iran, Amerika, dan Perselingkuhan Babak Baru di Dunia Arab
Perkataan Mashaei ini begitu menarik perhatian media dan publik Iran. Para pejabat Iran memang banyak membuat pernyataan personal di masa lalu tentang persahabatan negara mereka dengan AS dan sering menekankan bagaimana Iran harus memperdalam hubungan dengan negeri Paman Sam. Tetapi sebelumnya mereka tidak pernah mendengar pernyataan seperti itu dikatakan pejabat resmi Iran dalam hal hubungannya dengan AS dan Israel.
Maka itu Mashaei mendukung penuh konvensi pariwisata pertama di Iran dengan mengundang 42 negara termasuk AS pada tahun 2008. Acara yang diinisiasi pejabat pariwisata Iran itu berhasil mengikis sekat-sekat ketegangan antara Iran dan AS.
Pernyataan Mashaei tentu sangat kontras dengan retorika Ahmadinejad yang berkobar-kobar ingin menghapus peta Israel dari dunia. Meski berlum ada satu peluru dari Teheran langsung ditembakkan ke Tel Aviv.
Mashaei memang kemudian gagal menjadi Presiden Iran, tapi Ahmadinejad kini tidak perlu pusing melihat sepak terjang Rouhani. Rouhani menjadi isyarat dari Syiah bahwa bekerjasama dengan negara salibis-zionis adalah sebuah keniscayaan.
“Kami tidak ingin melihat ketegangan lebih panas antara Iran dan Amerika Serikat. Kami diberitahu hikmah bahwa kedua negara perlu berpikir lebih banyak pada masa depan dan berusaha duduk untuk mengadakan solusi bagi isu-isu terdahulu dan memperbaiki masalah” kata Rouhani.

Sumber :  islampos.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar