I.
PENDAHULUAN
Di
dalam dunia kehidupan terkhusus dalam pendidikan, konsep manusia sangat penting
artinya di dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam kerangka berpikir dari
seorang pemikir. Sebab ia termasuk bagian dari pandangan hidup. Karena itu,
meskipun manusia tetap diakui sebagai misteri yang tidak pernah dapat
dimengerti secara tuntas, keinginan untuk mengetahui hakikatnya ternyata tidak
pernah berhenti. Menurut R.G. Collingwood konsep manusia penting bukan demi
pengetahuan akan manusia itu saja, tetapi yang lebih penting adalah karena ia
merupakan syarat bagi pembenaran kritis dan landasan yang aman bagi pengetahuan-pengetahuan
manusia.[1] Di
dalam sejarah pemikiran islam, pandangan yang mendasar tentang manusia
ditemukan pada filsafat dan tasawuf. Namun, menurut Muhammad Yasir Nasution
pengaruh Fuqaha dan Mutakallimin yang kuat di dunia Islam
menyebabkan pandangan mereka yang negatif terhadap filsafat berkembang,
sehingga orang takut berfilsafat. Sehingga serangan yang lebih keras dan
sistematis terhadap filsafat adalah yang dilakukan oleh Abu Hamid Al-Ghazali
(1058-1111 M).[2]
Konsep
pemikiran Al-Ghazali tentang manusia sangat komprehensif. Ia menyatakan
pengenalan hakikat diri adalah dasar untuk mengenal Tuhan. Al-Ghazali merupakan
salah satu ulama yang juga pemikir besar muslim yang karya-karyanya banyak
menyinggung masalah manusia. Beliau merupakan orang yang ulet dalam mencari dan
menggeluti segala pengetahuan yang hendak di ketahuinya untuk mencapai
keyakinan dan hakikat dari suatu kebenaran.
Berdasarkan hal ini, maka dalam tulisan ini
akan dijelaskan tentang Manusia dalam Perspektif Al-Ghazali yang meliputi,
diantaranya : (1) Hakikat Manusia, (2) Hikayat Insan, dan (3) Sifat Manusia, Pengembangan
dan Pengetahuannya. Semoga dengan kajian ini kita dapat mengetahui pola
pemikiran dari Al-Ghazali tentang manusia yang dapat membangkitkan kembali
pemikiran intelektual dari kaum muslim.
II.
HAKIKAT MANUSIA
Hakikat
berasal dari kata Arab Al-haqiqat,
yang berarti kebenaran dan esensi. Dalam pengertian ini, Muhammad Yasir
Nasution mengungkapkan bahwa hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak
berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya
sendiri dan membedakannya dari yang lainnya.[3] Lebih
lanjut, yang mendasari jalan berpikir merumuskan hakikat manusia adalah prinsip
yang umum dianut oleh para filosof, yaitu mabda’
al-dzatiyyat (prinsip identitas) yang lebih populer dengan sebutan prinsip
pertama. Prinsip ini berbunyi : “sesuatu yang ada hanya identik dengan dirinya
sendiri.”[4]
Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa segala sesuatu yang ada mempunyai
identitas yang menandai esensinya dan menunjukkan kebedaannya dari yang lain.
Menurut
kajian ilmu, manusia sebagai individu terdiri dari sel-sel daging, tulang,
saraf, darah dan lain-lain (materi) yang membentuk jasad. Ilmu mengakui bahwa
dalam diri manusia ada jiwa, bahkan penganut teori evolusi pun mengakuinya.
Namun, apakah jiwa itu substansi yang berdiri sendiri, ataukah ia hanya
merupakan fungsi atau aktivitas jasad dengan organ-organnya.[5]
Lebih
lanjut, Al-Ghazali menggambarkan manusia terdiri dari Al-Nafs, Al-ruh dan
Al-jism. Al-nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat. Al-ruh
adalah panas alam di (al-hararat
al-ghariziyyat) yang mengalir pada pembuluh-pembuluh nadi, otot-otot dan
syaraf. Sedangkan al-jism adalah yang tersusun dari unsur-unsur materi.[6]
Al-jism (tubuh) adalah bagian yang paling tidak sempurna pada manusia. Ia
terdiri atas unsur-unsur materi, yang pada suatu saat komposisinya bisa rusak.
Karena itu, ia tidak mempunyai daya sama sekali. Ia hanya mempunyai mabda’ thabi’i (prinsip alami),[7]
yang memperlihatkan bahwa ia tunduk kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya.
Tegasnya, al-jism tanpa al-ruh dan al-nafs adalah benda mati.
Selain
itu, Al-Ghazali juga menyebutkan manusia terdiri dari substansi yang mempunyai
dimensi dan substansi (tidak berdimensi) yang mempuyai kemampuan merasa dan
bergerak dengan kemauan. Yang pertama adalah al-jism dan yang kedua al-nafs. Di
sini, ia tidak membicarakan al-ruh dalam arti sejenis uap yang halus atau panas
alami, tetapi ia menggambarkan adanya dua tingkatan al-nafs dibawah al-nafs
dalam arti esensi manusia, yaitu al-nafs
al-nabatiyyat (jiwa vegetatif) dan al-nafs
al-hayawaniyyat (jiwa sensitif).[8]
Kedua jiwa ini disebut di bawah jiwa manusia, karena dipunyai secara bersama
oleh manusia dan makhluk-makhluk lainnya, tumbuh-tumbuhan untuk yang pertama
dan hewan serta tumbuh-tumbuhan untuk yang kedua.
Menurut
Al-Ghazali, Jiwa (al-nafs al-nathiqah)sebagai
esensi manusia mempunyai hubungan erat dengan badan. Hubungan tersebut
diibaratkan seperti hubungan antara penunggang kuda dengan kudanya. Hubungan
ini merupakan aktifitas, dalam arti bahwa yang memegang inisiatif adalah
penunggang kuda bukan kudanya. Kuda merupakan alat untuk mencapai tujuan. Ini
berarti bahwa badan merupakan alat bagi jiwa.[9]
Jadi, badan tidak mempunyai tujuan pada dirinya, dan tujuan itu akan ada
apabila dihubungkan dengan jiwa, yaitu sebagai alat untuk mengaktualisasikan
potensi-potensinya.
Disamping
itu, berdasarkan proses penciptaannya, manusia merupakan rangkaian utuh antara
komponen materi dan immateri. Komponen materi berasal dari tanah (Q.S. As
Sajadah/32:7) dan komponen immateri ditiupkan oleh Allah (Q.S. Al Hijr/15:29).
Kesatuan ini memberi makna bahwa di satu sisi manusia sama dengan dunia di luar
dirinya (fana), dan disisi lain
menandakan bahwa manusia itu mampu mengatasi dunia sekitarnya, termasuk dirinya
sebagai jasmani (baqa).[10]
Demikianlah
pandangan Al-Ghazali tentang hakikat manusia mengenai hubungan badan dengan
jiwa. Dimana, badan hanya sebatas alat sedangkan jiwa yang merupakan memegang
inisiatif yang mempunyai kemampuan dan tujuan. Badan tanpa jiwa tidak mempunyai
kemampuan apa-apa. Badan tidak mempunyai tujuan, tetapi jiwa yang mempunyai
tujuan. Badan menjadi alat untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu,
jiwalah nanti yang akan menikmati dan merasakan
bahagia atau sengsaranya di akhirat kelak.
III. HIKAYAT
INSAN
Menurut
Al-Ghazali sekalipun manusia itu termasuk dalam golongan hayawaniyah, baik
dalam arti luar maupun dalam, akan tetapi ia sebenarnya mempunyai dua sifat
keadaan yang sangat menakjubkan bagi dirinya yaitu Ilmu dan Kemauan. Yang
dimaksud dengan ilmu ialah kekuatan untuk membina, mempunyai daya cipta yang
tidak bisa diraba dan memiliki hakikat kecerdasan. Dengan kemauan atau kehendak
yang dimaksud disini ialah nafsu, keinginan yang kuat untuk mencapai tujuan
setelah diputuskan oleh pertimbangan akal yang sehat tentang segala akibatnya.[11]
Dengan
melihat keadaan dan sifat yang telah penulis sebutkan diatas. Maka hal inilah
yang membawa perbedaan antara manusia dengan hewan. Karena pada binatang atau
hewan sekalipun ia mempunyai keinginan juga, namun hewan tidak mempunyai
pertimbangan akal.
Tabi’at
manusia menurut Al-Ghazali ada empat unsur yang menjelma dalam sifat yang
dikenal dengan nama kebinatangan, kekasaran, kesyeitanan dan kemalaikatan
(kesucian). Oleh karena itu, maka tidak heran apabila dalam tabi’at seseorang
itu muncul perbuatan-perbuatan seperti babi, anjing, syaitan dan alim. Sifat
babi menggambarkan keserakahan yang menjijikan, bukan dalam hal bentuk dan
potongannya akan tetapi dalam kegemaran makan diluar kepantasan. Hanya untuk
melepaskan lahap dan nafsunya saja. Kelakuan anjing menggambarkan sifat suka
melepaskan hawa nafsu kemarahan, dengan perbuatannya mengonggong dan mengigit
yang menyebabkan kerugian dan penderitaan bagi pihak lain. Kelakuan syaitan
menggambarkan sifat-sifat yang suka menghasu-hasut, mengaburkan faham dan pengertian
yang dimiliki oleh pandangan akal-budi yang sehat dari sifat-sifat kesucian dan
ajaran keagamaan, digodanya dan dihasut-hasutnya serta dibujuknya oleh syaitan
itu dengan hiasan-hiasan, janji dan kepalsuan. Akal budi yang bersih yang
bersih bila dimilikinya selalu bertujuan untuk menolak setiap ajakan dan
pengaruh dari sifat-sifat buruk yang ada pada syaitan. Ia akan mengawasi
terlebih dahulu ajakan hawa nafsu yang murka.[12]
Terlihat
jelas dari uraian diatas apabila akhlak manusia itu merosot, tidak mau mentaati
perintah agama dan akal budi yang suci bersih. Maka ia akan dipengaruhi oleh
ketiga sifat diatas yaitu kebinatangan, kekasaran dan kesyaitanan yang akan
membawanya ke jurang kehancuran dan kebinasaan.
IV. SIFAT
MANUSIA, PENGEMBANGAN DAN PENGETAHUANNYA
Tinjauan
filsafat yang lebih menonjol terhadap perbuatan manusia, menurut Al-Ghazali
adalah yang menyangkut kebebasan perbuatan manusia dilihat dari segi
efektivitasnya. Pandangan terhadap hal ini mempunyai akar pada konsepsi tentang
hakikat manusia dan daya-daya yang dimilikinya. Perbuatan-perbuatan itu
merupakan hasil determinasi kekuatan-kekuatan lain diluar dirinya. Manusia
dalam hal ini adalah tempat berlakunya kekuatan-kekuatan itu.[13]
Di
dalam Islam, menurut Al-Ghazali segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia
dari seleranya yang terendah sampai kelengkapan yang tertinggi, masing-masing
mempunyai tempat dan tujuan di dalam mencapai tujuan akhirnya. Dengan
mengecualikan “roh”, setiap sifat yang dimiliki manusia mempunyai dua bisikan
hati, yakni : Pertama, untuk
mendapatkan sesuatu yang dapat memuaskan dirinya sendiri atau dalam mengejar
tercapainya kebahagiaan yang sesungguhnya, tanpa menghiraukan akibatnya
terhadap perkembangan pribadinya secara utuh. Kedua, dalam rangka memainkan perannya di dalam suatu keselarasan,
yang diperlukan antara segala sesuatu yang menjadi dasar kepribadian manusia.[14]
Disini terlihat jelas aspek yang pertama
itulah yang dapat membuat diri manusia sulit untuk mencapai tujuan hidupnya
secara baik.
Al-Ghazali
seringkali memperingatkan kita bahwa pengembangan keutuhan diri membutuhkan
banyak pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang sifat-sifat manusia. Oleh
karena itu, sangatlah utama bagi seseorang yang menginginkan kebebasan demikian
supaya meneliti rahasia kepribadian manusia dan untuk memahami dasar-dasarnya
ia harus tahu kualitas, karakteristik dan sifat yang terdapat pada kepribadian
tersebut, agar mengetahui tempat di mana keagungan kepribadian itu berada dan
juga mengetahui tempat kemungkinan adanya kerusakan dan kehancuran kepribadian.[15]
Menurut
Muhammad Yasir Nasution, pengetahuan tentang sesuatu bukanlah sesuatu yang
diketahui itu. Kegiatan mengetahui melibatkan tiga hal yaitu : subyek yang
mengetahui, obyek yang diketahui dan pengetahuan (realitas subyektif). Dan
lebih lanjut, menurut Al-Ghazali kegiatan mengetahui adalah proses abstraksi.
Suatu obyek dalam wujudnya tidak terlepas dari aksidens-aksidens dan atribut-atribut
tambahan yang menyelebungi hakikatnya. Ketika subyek berhubungan dengan obyek
yang ingin diketahui, hubungan itu melibatkan ukuran (qadar), cara (kayf),
tempat dan situasi.[16]
Dengan
demikian menurut hemat penulis maka proses abstraksi ini memperlihatkan indera
sebagai pintu masuk pengetahuan dan akal sebagai tempat pengetahuan tertinggi.
sumber : http://miratriani.blogspot.com/2012/08/manusia-dalam-perspektif-al-ghazali.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar