Coba perhatikan belalai gajah, lihatlah hikmah yang sangat agung dari
penciptaannya. Belalai fungsinya laksana tangan untuk mengambil
rerumputan dan menciduk air, lalu dengan belalai itu gajah memasukkan
makanannya ke mulutnya. Sekiranya belalai itu tidak ada tentu gajah
tidak akan bisa mengambil makanan yang ada di atas tanah.
Sebab gajah tidak memiliki leher yang bisa dijulurkannya sebagaimana
halnya hewan-hewan lain. Berhubung gajah tidak memiliki leher maka Allah
melengkapinya dengan belalai yang panjang sebagai penggantinya. Allah
memberi kekuatan pada gajah untuk menjulurkan belalainya,
mengangkatnya,
menurunkannya dan mempergunakannya menurut kehendaknya. Allah buatkan
baginya belalai yang berfungsi sebagai alat menampung, elastis dan peka.
Dengan belalai itu gajah dapat menerima dan memberi menurut
kehendaknya. Siapakah yang memberinya alat pengganti tangan itu?
Siapakah yang menggantikan dengan anggota tubuh yang menggantikan
kedudukan tangan itu selain Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
dengan menciptakan belalai yang dapat menunjang kebutuhan hidupnya.
Jika ada yang bertanya: Mengapa gajah tidak diberi leher yang panjang
saja seperti halnya hewan-hewan yang lain, dan apa hikmah di balik itu?
Maka jawabannya: Allah Maha Mengetahui hikmah di balik itu. Sebabnya
adalah kepala dan dua daun telinga gajah sangat besar dan berat.
Sekiranya gajah memiliki leher yang panjang seperti hewan-hewan lain
niscaya akan bengkok lehernya karena keberatan dan leher tersebut tidak
akan mampu menahannya. Maka dibuatlah kepalanya menyatu dengan badan
agar gajah tidak merasa berat dan susah. Dan sebagai pengganti leher
Allah menciptakan belalai yang panjang untuk mengambil makanannya.
Berhubung leher unta itu panjang maka kepalanya dibuat kecil
dibandingkan tubuhnya yang besar, agar tidak merasa berat dan melemahkan
lehernya. Maha Suci Allah yang tiada dapat dihitung dan dibatasi
kemahabijaksanaan-Nya.
Sumber: Keajaiban-keajaiban Makhluk dalam Pandangan Al Imam Ibnul
Qayyim, karya Abul Mundzir Khalil bin Ibrahim Amin (penerjemah: Abu
Ihsan Al-Atsari Al-Maidani), penerbit: Darul Haq, cet. 1, Sya’ban 1423 H
/ Oktober 2002 M, hal. 169-170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar