Dalam agama Islam, kita mengenal istilah trilogy Iman, Islam dan Ihsan,
yang kemudian menjadi pundamen dasar dari Rukun Iman, Rukun Islam dan
Rukun Ihsan. Rukun Iman terdiri dari enam keimanan yang tercakup dalam
sebuah hadits Nabi Muhammad SAW yaitu Amantubillahi (percaya kepada
Cahaya hidup), wamalaikatihi ( percaya kepada gerak Cahaya hidup),
wakutubihi (percaya kepada ketetapan cahaya hidup), warosullihi (percaya
kepada rasa Cahaya hidup), walyaumil akhiri (percaya kepada kebangkitan
cahaya hidup), wal qodri khoirihi (percaya kepada kuasa cahaya hidup).
Tulisan ini mencoba membahas apa yang dimaksud dengan konsep Akhirat.
Umumnya kita berkeyakinan bahwa yang dimaksud dengan dengan akhirat
itu adalah alam yang keberadaannya di balik kematian. Alam yang baru
akan kita masuki setelah kita mati dan dunia ini berakhir. Dengan kata
lain, alam akhirat ialah alam yang akan datang yang baru ada setelah
dunia ini mengalami pralaya atau “kiamat”. Dimana kita akan mendapatkan
Siksa di Neraka atau mendapatkan Kebahagiaan di Syurga.
Mungkin ada yang salah di benak kita. Kita ini berdoa agar dikarunia
Tuhan kesejahteraan hidup di akhirat, tapi kita sendiri tidak tahu
akhirat. Bagaimana kita meminta yang tidak kita ketahui? Mungkin, kita
beranggapan bahwa Tuhan senantiasa mengerti tentang apa yang diminta
hamba-hamba-Nya.Tuhan itu memang Maha Mengetahui dan Maha Mendengarkan.
Tetapi, kalau kita meminta sesuatu yang tidak kita mengerti, maka
setelah dikabulkan pun kita tidak akan mengerti apa yang kita terima
itu. Bayangkan, kita minta kepada seseorang kamera digital yang kita
sendiri tidak mengetahui apa yang kita minta itu. Kita cuma mendengar
bahwa ada kamera digital. Lalu, kita diberi. Apakah kita bahagia dengan
pemberian itu? Apakah ada gunanya pemberian itu?
Makna Akhirat
Kita perlu menengok kembali kata “akhirat”. Jangan-jangan kita ini salah paham terhadap pengertian akhirat. Di bawah ini akan dikutip ayat Al-Qur’an yang menyebutkan kata akhirat. Dan, pemahamann berikut ini akan bersesuaian dengan pemahaman hakikat di berbagai macam agama.
Kita perlu menengok kembali kata “akhirat”. Jangan-jangan kita ini salah paham terhadap pengertian akhirat. Di bawah ini akan dikutip ayat Al-Qur’an yang menyebutkan kata akhirat. Dan, pemahamann berikut ini akan bersesuaian dengan pemahaman hakikat di berbagai macam agama.
“Janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Dia tidak menyalahi
janji-Nya. Akan tetapi, sebagian besar manusia tidak mengetahui
(janji-Nya). Mereka hanya mengetahui hal-hal yang tampak dari kehidupan
dunia ini, sedangkan yang “akhirat” mereka lupakan”. (QS 30 : 6-7).
Pertama, ada janji Allah. Janji adalah pernyataan yang
dipakai sebagai pegangan. Tentunya, manusia menerima janji itu langsung
dari yang berjanji dengan dirinya. Kalau sudah dari orang lain, itu
namanya bukan janji. Ini baru “katanya”. Tentu, Tuhan telah berjanji
kepada setiap orang. Tetapi, janji Tuhan itu termasuk alam yang
tak-tampak. Janji Tuhan itu tidak dalam bentuk huruf maupun suara.
Pada umumnya manusia, semenjak era kenabian, telah pergi menuju alam
lahiriah. Hidup di dalam lingkungan dunia eksternal. Mereka benar-benar
telah meninggalkan alam rahim yang tersembunyi itu menuju alam lahiriah
yang serba tampak. Padahal, janji Tuhan tanpa huruf dan suara itu ada di
dalam alam yang tak-tampak. Janji Tuhan itu ada di alam batin atau
inner self. Selama manusia meninggalkan alam batinnya, maka ia tidak
akan mengetahui janji tersebut.
Janji Tuhan itu benar adanya. Pertumbuhan dan perkembangan manusia
dari bayi hingga tua renta itu merupakan janji Tuhan. Janji yang
ditampakan di alam lahiriah. Di manakah adanya janji Tuhan di alam nyata
ini?jawabnya adalah ada di alam proses penciptaan yang dapat kita amati
sehari-hari. Bukankah manusia ini tidak sekedar produk penciptaan?
Manusia mengalami fase penyempurnaan diri, baik lahiriah maupun
batiniah. Ada kadar untuk tumbuh dan berkembang. Ada potensi untuk
menyempurnakan diri. Dan, ada arah untuk menuju ke kehidupan yang lebih
baik. Dalam bahasa agama, ada “petunjuk Tuhan” untuk kehidupan manusia.
Kedua, sebagian manusia hanya “mengetahui” yang tampak saja dari kehidupan dunia.
Semenjak manusia terpikat oleh keberadaan dari dunia eksternalnya,
indra lahiriah manusia semakin menonjol peranannya. Seiring dengan
menguatnya peranan indra lahiriah, semakin melemahnya peranan indra
batinnya, seperti naluri dan intuisi. Peranan lahir semakin bertambah,
maka peranan batin semakin berkurang atau mungkin malah hilang.
Akibatnya, manusia kehilangan arah dalam mengarungi hidupnya.
Manusia merasa bahwa yang menentukan arah hidupnya adalah dunia di
luar dirinya. Manusia merasa bahwa keindahan itu di luar dirinya. Bahwa
kebahagiaan itu berasal dari dunia luar dirinya. Sehingga, manusia
mengejar kebahagiaan yang ada di luar dirinya. Apa salah? Tentu saja,
tidak. Tetapi, ini tidak sepenuhnya benar.
Cobalah kita merenungkan orang yang mengalami cacat buta dan tuli
semenjak lahir. Meski secara fisik cacat, batinnya belum tentu cacat.
Sebagai manusia tentunya ia tetap dapat merasakan kebahagiaan. Karena
itu, hampir tidak ada manusia cacat lahir dari bayi yang putus asa dalam
mempertahankan eksistensi hidupnya. Justru bunuh diri terjadi pada
orang-orang normal yang putus asa dalam menghadapi dunia eksternalnya.
Mengapa terjadi perasaan jenuh, bosan, atau putus asa dalam hidup
ini? Karena, pemandu yang ada di dalam diri kita tidak berfungsi. Bila
pemandu tersebut ditinggalkan, maka fungsinya akan meredup. Naluri atau
insting menjadi tumpul. Intuisi tidak kunjung datang. Sedangkan dunia
eksternal menjadi hal yang rutin. Maka, hasilnya adalah kebosanan. Jika
dunia luar tak bisa diraih dan menekan kehidupan, maka hasilnya adalah
keputusasaan. (lihat surat 49 : 7)
Ketiga, melalaikan akhirat. Kalau kita menyimak dengan
seksama ayat tersebut, ternyata “yang tampak” dari dunia ini dilawankan
dengan “akhirat”. Sehingga makna akhirat sejatinya adalah keberadaan
batin dalam hidup ini. Dan, makna inilah yang terbanyak kita temui di
dalam Al-Qur’an. Ternyata, akhirat lebih terkait dengan kenyataan
kekinian daripada alam lain yang akan terjadi setelah dunia ini pralaya.
Penutup ayat tersebut jelas, bahwa yang dilalaikan oleh sebagian
besar manusia itu adalah “yang tak tampak” dari dunia ini yang disebut
“akhirat”. Dan, sifatnya menjadi denititif, yaitu dengan adanya artikel
“al” pada ayat tersebut. Disebut pada penutup ayat bahwa, “wa hum ‘ani
al-akhirati hum la ghafilun” .Jadi , yang mereka ketahui apa? Yaitu,
“Zhahir”-nya dunia. Yang dilalaikan apa? Yang dilalaikan itu
“al-akhirah”-nya dunia. Batinnya dunia. Bagian yang tak-tampaknya dunia.
Selama ini kata “akhirat” dalam Al-Qur’an hampir selalu diartikan
dunia yang akan datang. Sebuah dunia yang adanya setelah alam raya yang
ada sekarang ini mengalami kehancuran yang biasanya tersebut “kiamat”.
Baru setelah hancur lebur itu, Tuhan akan menciptakan dunia yang baru
lagi. Begitulah kepercayaan yang berkembang selama ini.
Cobalah renungkan, apanya yang perlu dilalaikan kalau akhirat itu
adanya setelah hancur leburnya alam semesta ini. Sesuatu yang
dilalaikan, tentunya sesuatu yang sudah pernah dialami. Sesuatu itu
ialah kebahagiaan, keenakan dan kenyamanan hidup yang berasal dari
dalam-diri. Sesuatu itulah yang terwujud pada masa-masa bayi dalam
rahim, sampai lahir dan masaa kanak-kanak. Lihatlah kegembiraan,
kejenakaan, dan kesenangan pada masa bayi dan kanak-kanak. Itu semua
timbul dari dalam-diri mereka sendiri. Makanya, kalau kita melihat
mereka yang bermain, kita pasti merasa heran. Banyak hal yang menurut
kita menimbulkan keriangan, tapi mereka justru tampak riang gembira.
Apabila akhirat belum pernah ada, belum pernah dialami, tidak mungkin
dilalaikan. Mana ada seseorang yang lalai terhadap sesuatu yang belum
pernah dirasakan? Pasti tidak mungkin! Orang lalai, tentu lalai terhadap
kenyataan. Lalai terhadap perintah. Lalai terhadap tugas. Lalai
terhadap kewajiban. Dan, perintah atau tugas itu diberikan, tentu
berkaitan dengan hal yang nyata. Kewajiban dibebankan tentu untuk
mengerjakan hal-hal yang nyata. Kewajiban tidak mungkin diberikan kepada
kita bilamana kewajiban itu tidak dapat direalisasikan.
Kesimpulan
Dunia dan akhirat sebenarnya satu adanya. Yang kelihatan berbeda itu hanyalah penampakannya. Kalau kita lihat itu kulitnya keberadaan atau sisi luar sebuah eksistensi, maka yang kita alami adalah “dunia”. Dengan bahasa QS 30 : 6-7, hanya bagian yang tampak dari dunia. Tapi, bila yang kita saksikan itu sisi batinnya, maka yang ada ialah kehidupan akhirat.
Dunia dan akhirat sebenarnya satu adanya. Yang kelihatan berbeda itu hanyalah penampakannya. Kalau kita lihat itu kulitnya keberadaan atau sisi luar sebuah eksistensi, maka yang kita alami adalah “dunia”. Dengan bahasa QS 30 : 6-7, hanya bagian yang tampak dari dunia. Tapi, bila yang kita saksikan itu sisi batinnya, maka yang ada ialah kehidupan akhirat.
Maka, akhirat sebenarnya ada di sini dan sekarang ini. Akhirat tidak
terkungkung oleh waktu. Maka ia senantiasa hadir dalam kekinian. Ia
baqa; alias kekal. Kalau nanti baru ada akhirat, maka akhirat itu tidak
kekal. Kata “nanti” merujuk pada sebuah kelahiran. Segala sesuatu yang
dilahirkan pasti mengalami proses penuaan dan akhirnya punah. Inilah
hukum alam. Makanya kita harus paham terhadap makna akhirat, agar kita
tidak terjebak ilusi yang diberitakan oleh banyak orang.
Dalam bahasa Al-Qur’an, kalimat “liqa’ Allah” atau berjumpa
dengan Allah, sering juga disebut sebagai bertemu dengan akhirat. Dan,
untuk berjumpa dengan Allah, jangan ditunggu-tunggu. Jangan ditunggu
nanti setelah mati. Kalau masih hidup saja kita tidak dapat bertemu
dengan-Nya, jangan harap kalau mati kita bisa beranjang sana ke
Hadirat-Nya. Kalau masih hidup kita tidak dapat makan sesuap nasi, maka
jangan harap kalau mati kita dapat makan sebutir rimah.
Selamat menjelajah akhirat sewaktu napas masih mengalir di dalam
tubuh kita. Dengan menjelajah akhirat kita tak akan terjebak kenikmatan
duniawi. Kita justru tahu, sebenarnya kenikmatan ukhrowi itu hadir dari
dalam diri kita sendiri. Kenikmatan bukan berasal dari luar diri kita.
Marilah kita renungkan rekaman doa Nabi Ibrahim AS dan berita tentang
hasilnya orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang melampaui batas
dalam firman Allah dibawah ini :
Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan.
Yaitu, pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali,
orang yang datang kepada Allah dengan hati yang “salim” Dan,
didekatkanlah Taman kebahagiaan kepada orang-orang yang bertakwa. Dan,
ditampakkan dengan jelas Jahim kepada orang-orang yang melampaui batas. (QS al-Syu’ara [26] : 87-91.
“Angkatlah tanganmu dan tutuplah Pintumu” (HR. Al Hakim dari Ya’la bin Syidad)
Sumber : http://energikultivasi.wordpress.com/2011/09/28/hakekat-alam-akhirat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar