Bersinar.com-Memang Indonesia sudah merdeka, dan berbentuk
Republik, bukan Kerajaan. Namun, gejala yang ada menunjukkan di
Indonesia kehidupan politik, mirip kerajaan. Kekuasaan jatuh
turun-temurun. Bukan berdasarkan kriteria modern yang menngandalkan
sistem meritrokrasi.
Coba. Dari Soekarno, pemimpin yang dikenal flamboyan, karismatis, dan
memiliki kemampuan retorika, melahirkan generas
i Megawati. Megawati
yang selalu dielu-elukan sebagai "trah" Soekarno itu, terus dielu-elukan, ketika itu, sampai ada yang memiliki sikap berlebihan, mengatakan, bahwa Mega itu, "Ratu Adil".
Rakyat dibikin terikat secara emosional dengan Mega yang menjadi "trah" keturunan Soekarno itu. Sekalipun, sering terjadi Mega itu anak "ideologis" atau anak "biologis".
Maksudnya, kalau Mega itu anak "ideologis" Soekarno, pasti akan
mewarisi sikap "Bapaknya" Soekarno, yang menganut garis polsitik yang
sangat anti Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Imperialisme).
Tetapi, apakah Mega selama berkuasa dan menjadi presiden menunjukkan Mega itu anak "ideologis" Soekarno,
dan bersikap tegas terhadap Nekolim? Ini menjadi pertanyaan secara
elementer bagi rakyat Indonesia yang selama ini dicekoki tentang
demagogi, bahwa Mega itu "Ratu Adil", yang akan mengangkat
rakyat yang sudah dikuyo-kuyo Soeharto. Atau Mega itu sejatinya hanya
menjadi "pak turut" dari kekuatan Nekolim?
Mega yang menjadi dinasti Soekarno ini masih dalam posisi Capres
(calon presiden) dari PDIP di tahun 2014. Jika Mega maju dan menjadi
presiden, maka ini merupakan prestasi yang bersejararh dalam dinasti
Soekarno.
Sesudah Soekarno dilengserkan oleh Soeharto, dan di dahului dengan "goro-goro"
peristiwa G.30.S PKI, maka Soeharti yang waktu menjadi Panglima
Kostrad, naik menjadi presiden. Soeharto memutar jarum, di bawah
Soekarno, Indonesia berkiblat ke Moskow dan Peking, kemudian saat
Soeharto berkuasas, kiblat Indonesia ke Washington.
Soeharto juga menciptakan dinasti baru, anak-anaknya, seperti Sigit,
Tutut, Bambang, Tomi dan Mamik, semuanya menikmati berkah dari kekuasaan
Soeharto.
Mereka mendapatkan rente dari kekuasaan Soeharto, dan mendadak
menjadi pengusaha kaya-raya bersama 200 konglomerat Cina yang sering di
bawa Soeharto ke peternakan sapi di Tapos, Bogor. Dan, perputaran
ekonomi Indonesia hanya berputar diantara keluarga Cendana dan 200
konglomerat Cina.
Tetapi, dari dinasti Soeharto itu, hanya Tutut sangat menonjol, dan
ikutan dalam politik. Tutut pernah diangkat menjadi menteri menjelang
keruntuhan Soeharto, dan mendirikan partai politik, bersama dengan
Jenderal Hartono. Tetapi, partai yang didirikan oleh Tutut dan Hartono,
tak laku, dan akhirnya tak pernah ada lagi.
Betapa Soeharto ingin membangun dinasti, sampai tujuh turunan, dan
ingin mewariskan kekuasaan kepada anak-keturunannya, tetapi begitu
Soeharto runtuh, semua bangunan dinasti yang dibangunnya itu ikut
runtuh, seperti tumpukkan pasir.
Soeharto runtuh, karena sudah terlalu lama berkuasa, dan sudah tidak
lagi memiliki kepekaan terhadap nasib rakyat. Di era Soeharto itu,
istilah atau konotasi yang paling terkenal, yaitu KKN (Kolusi, Korupsi
dan Nepotisme), dan diabadikan KKN itu dalam Tap MPR.
Soeharto lengser lahir tokoh baru, yaitu Abdurrahman Wahid. Tokoh NU ini membuat negara menjadi "acak adul", mengatur
negara, mirip mengatur sebuah warung makan di Jombang. Menteri
gonta-ganti. Membuat pernyataan penuh dengna konntroversi. Berpikir
sangat "kiri" dan "humanis". Fakta itu terefleksi dengan orang-orang pilihan Gus Dur yang duduk di kabinet.
Gus Dur anti militer atau tentara, dan banyak jenderal yang sakit
hati dengan Gus Dur. Karena itu, ketika Gus membuat dekrit ingin
membubarkan partai-partai politik, dan DPR, termasuk Golkar, justeru
tentara tidak mendukung. Akhirnya Gus Dur tepelanting dari kekuasaannya.
Dari "trah" Gus Dur itu, ada yang memiliki perhatian dibidang
politik, yaitu Yeny Wahid. Sekarang memimpin Wahid Institute. Yeni gemar
mengumbar isu-isu kontroverssi bagi umat Islam persis seperti bapaknya.
Namun, Yeny dijungkirkan oleh saudaranya sendiri, yaitu Muhaimin
Iskandar, saat memperebutkan PKB. Sehingga, Yeny kehilangan pengaruh
politik, dan tidak lagi dapat mengandalkan dukungan NU, meskipun banyak
kalangan ulama yang cinta terhadap Gus Dur.
Tentu yang paling menari dinasti Chasan Shohib yang terekanal sebagai
"jawara" Banten. Bagaimana Chasan Shohib ini bisa membangun dinasti di
Banten dengan sangat efektif. Karena, memang Chasan Shohib yang didukung
Golkar itu, sangat disegani rakyat Banten, karena jawaranya itu.
Anak keturunan Chasan Shohib, sekarang menguasai Banten, mulai dari
anaknya Ratu Atut yang menjadi Banten dua periode, dan belum lagi
isteri-isterinya yang menjadi pejabat. Anaknya, cucunya, semuanya
menikmati berkah dari kekuasaan. Chasan Shohib tergolong berhasil
membangun dinasti kerajaan di Banten.
Di balik semua itu, ada yang paling mencenganghkan, yaitu anak Chasan
Shohib, yaitu Tubagus Chaery Wardana, yang menjadi adik Atut, dan suami
Airin, Bupati Tangerang Selatan ini, memiliki kekayaan Rp 103 miliar,
dan Wawan memiliki mobil lamborghini, harganya Rp 9 miliar. Dinasti
Chasan Shohib ini memang berkuas adi Banten.
Tetapi, semua dinasti Chasan Shohib akan berakhir bersamaan dengan
tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar yang menerima sogokan dari Wawan
terkait dengan pilkada bupati Lebak.
Wawan yang menjadi suami Airin, sekarang meringkuk di bui, dan
mungkin akan menyusul Atut? Dinasti-dinasti itu semua tamat, karena
mereka terlalu tamak terhadap harta, dan dengan jalan yang tidak halal.
Sumber : voa-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar