Bagi Iran, meyambung tali ‘silaturahim’ dengan AS, tampaknya menjadi
opsi yang paling rasional guna membendung gerakan Islam di dunia Arab.
Selain itu, persahabatan antara Iran dengan AS akan membuka kebuntuan
ekonomi bagi kedua negara.
Kebuntuan Ekonomi
Iran dan AS memang selama ini tampak malu-malu untuk secara terbuka
mengakui sebagai negara yang saling membutuhkan. Data BPS AS (Census Bureau),
misalnya, per 15 Oktober 2012 saja menunjukan, nilai perdagangan AS ke
Iran sepanjang 8 bulan pertama 2012 tercatat mencapai US$199,5 juta. Itu
artinya klaim embargo yang selama ini didengungkan AS tidak terbukti,
karena tingkat perdagangan AS ke Iran justru naik US$48,7 juta.
Tentu stabilitas hubungan kedua negara inilah yang secara jujur
sangat dirindukan bagi Iran. Dengan kondisi kemiskinan yang cukup merata
di Iran, stabilitas ekonomi adalah keniscayaan yang harus dilakukan
pemerintah.
Menteri ekonomi Ali Tayyebnia sendiri telah memperingatkan pada
Agustus lalu bahwa jumlah pengangguran resmi negara itu kini mencapai
3,5 juta orang atau 11,2 persen dari angkatan kerja, dan bisa bertambah
menjadi 8,5 juta akibat gelombang baru anak-anak muda yang akan memasuki
pasar tenaga kerja.
Maka menarik menyimak pernyataan seorang supir Taxi bernama Morteza saat diwawancara media jerman DW. “Terputusnya hubungan diplomatik antara AS dan Iran harus segera diakhiri,” tegasnya.
Mencermati situasi ini, saya jadi teringat perkataan Sejarawan Iran Ali Nourizadeh.“Jutaan
rakyat Iran akan berunjuk rasa mendukung Amerika jika isu yang diangkat
adalah membuka kembali hubungan Iran dengan Amerika,” katanya.
Kesempatan bagi pertemuan langka antara Menteri Luar Negeri Amerika
John Kerry dengan rekannya Menlu Iran Mohammad Javad Zarif juga menarik
disimak. Pembicaraan diawali dengan jabat tangan antara Kerry dengan
Zarif saat pertemuan di New York, September lalu. Zarif dan Kerry duduk
bersebelahan di pojok meja berbentuk U selama pertemuan para menlu dari
lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Posisi duduk yang dekat ini ditafsirkan sebagai hasrat besar diantara
keduanya untuk mencoba menghapus ketegangan. “Kami telah melakukan
pertemuan yang sangat konstruktif,” kata Kerry kepada para wartawan
setelah pertemuan para Menlu DK PBB. Tapi Kerry menambahkan, ”Masih
banyak yang harus dikerjakan.“
Usai pertemuan, Zarif juga mengungkapkan kepuasan yang senada. “Saya
puas dengan langkah pertama ini. Sekarang kita harus melihat apakah kita
bisa menyesuaikan kata-kata positif dengan perbuatan serius agar kita
bisa melangkah ke depan,“ tambahnya
Bahkan dari New York, Zarif menulis melalui Twitternya bahwa: “Kita
punya kesempatan bersejarah untuk memecahkan masalah nuklir jika
kekuatan dunia bersedia menyesuaikan diri dengan “pendekatan baru Iran“.
Kepentingan Bersama untuk Melawan Common Enemy
Selain hubungan Ekonomi, sebenarnya ada satu kepentingan sama yang
menjadi proyek bagi Syiah dan Amerika di dunia Arab, yakni menghalau
tegaknya negara teroris yang mereka tujukan kepada Mujahidin Suriah yang
berjihad atas nama Allah untuk menegakkan Daulah Islam. Sungguhlah aneh
ada negara yang mengklaim Republik Islam tapi menghalau upaya tegaknya
Syariat Islam di Suriah.
Kenapa? Karena Mujahidin Suriah adalah kelompok Ahlussunah yang kafir
dalam konsep agama Syiah. Di satu sisi Syiah mudah sekali menyematkan
istilah “Takfiri” kepada kelompok Ahlussunah, tapi di sisi lain justru
Syiah lah yang memendam ideologi takfiri yang mengerikan.
AS dan Iran benar-benar disatukan dalam urusan ini. Sebab kemenangan
mujahidin di Suriah adalah sinyal kematian bagi Syiah dan Zionis.
Bayangkan saja dengan persenjataan sederhana dan tanpa mendapat bantuan
apapun dari dunia internasional, Mujahidin Suriah berhasil membebaskan
60-80% daerah Suriah.
Kemenangan mujahidin juga mengkhawatirkan Amerika, apalagi dalam
beberapa pertempuran para mujahidin berhasil menguasai senjata-senjata
berat, setelah melumpuhkan beberapa markas dan pangkalan militer Assad.
Dalam pelumpuhan bandara Menneg di Aleppo, misalnya, beberapa senjata
berat termasuk tank T-72, senjata-senjata anti Tank, senapan mesin
berat, senjata anti pesawat 57 mm dirampas para pejuang. Termasuk
ratusan rudal anti tank yang bisa dikendalikan. Dengan sistem
ATGM-(Anti Tank Guided Missile), tank-tank Assad bisa dihancurkan. Hal
ini akan sangat menyulitkan tentara Assad yang mengandalkan senjata
berat, tank, dan pesawat tempur.
Iran dan AS sangat memiliki kepentingan untuk melakukan segala cara
guna menghadapi ancaman ini, termasuk bekerjasama untuk memerangi
mujahidin di Suriah. Maka melihat situasi ini, maka kita pun akan mudah
membaca siapakah sasaran sebenarnya dari Invasi AS ke Suriah. Tidak lain
dan tidak bukan adalah Mujahidin.
Kalaulah memang tujuan AS menyerang Suriah untuk menjatuhkan Assad,
kenapa AS baru melakukan sekarang setelah revolusi berjalan dua tahun?
Kalaulah Alasan AS menyerang Suriah untuk melucuti senjata kimia, kenapa
AS tidak melakukan hal yang sama kepada Israel? Bukankah Israel juga
menggunakan White phosphorus ketika membunuh ribuan muslim Palestina?
Belajar dari Afghanistan
Kondisi di Suriah amatlah persis dengan apa yang terjadi di
Afghanistan. Di mana Iran mendukung pendudukan Amerika dan mendukung
konstitusi yang ditetapkan Amerika. Iran jualah yang mendukung
pemerintahan boneka Afghan bentukan Amerika. Dalam era Rafsanjani saja,
Iran menegaskan jaminan Pasukan Iran di daerah utara Afganistan ketika
Amerika gagal dalam mengalahkan Taliban. Mantan presiden Iran,
Rafsanjani, menyebutkan, “Seandainya kekuatan Iran tidak membantu dalam
memerangi Taleban, niscaya orang-orang Amerika terjerembab dalam lumpur
Afghanistan” (ash-Sharq al-Awsath, 9/2/2002)
Demikian pula di era Ahmadinejad. Tahun 2011 Teheran menggelar
Konfrensi Kontraterorisme di Teheran 2011 dengan mengandeng dua Hamid
Karzai dan Asif Zardari. Siapakah yang dimaksud Terorisme dalam termin
Iran? Ya jelas para mujahidin yang berada di balik Imarah Islam
Afghanistan.
Maka, Ahmadinejad sangat berkepentingan untuk memastikan para
penerusnya untuk menjalankan misi “Amerika dan Syiah” ini. Tidak heran,
Ahmadinejad mendukung habis-habisan Capres Iran Pro AS Esfandiar Rahim
Mashaei.
Besan Ahmadinejad ini memang dikenal sebagai Kepala Staf Presiden
Iran yang terus mengupayakan perdamaian antara Iran dengan Israel.
Berbicara di sebuah konvensi pariwisata di Teheran, Juli 2008, Mashaei
ini mengatakan: “Tidak ada bangsa di dunia ini yang menjadi musuh kita,”
tegasnya. “Iran adalah teman bangsa Amerika Serikat dan di Israel, dan
ini adalah suatu kehormatan!” pekiknya.
Perkataan Mashaei ini begitu menarik perhatian media dan publik Iran.
Para pejabat Iran memang banyak membuat pernyataan personal di masa
lalu tentang persahabatan negara mereka dengan AS dan sering menekankan
bagaimana Iran harus memperdalam hubungan dengan negeri Paman Sam.
Tetapi sebelumnya mereka tidak pernah mendengar pernyataan seperti itu
dikatakan pejabat resmi Iran dalam hal hubungannya dengan AS dan Israel.
Maka itu Mashaei mendukung penuh konvensi pariwisata pertama di Iran
dengan mengundang 42 negara termasuk AS pada tahun 2008. Acara yang
diinisiasi pejabat pariwisata Iran itu berhasil mengikis sekat-sekat
ketegangan antara Iran dan AS.
Pernyataan Mashaei tentu sangat kontras dengan retorika Ahmadinejad
yang berkobar-kobar ingin menghapus peta Israel dari dunia. Meski berlum
ada satu peluru dari Teheran langsung ditembakkan ke Tel Aviv.
Mashaei memang kemudian gagal menjadi Presiden Iran, tapi Ahmadinejad
kini tidak perlu pusing melihat sepak terjang Rouhani. Rouhani menjadi
isyarat dari Syiah bahwa bekerjasama dengan negara salibis-zionis adalah
sebuah keniscayaan.
“Kami tidak ingin melihat ketegangan lebih panas antara Iran dan
Amerika Serikat. Kami diberitahu hikmah bahwa kedua negara perlu
berpikir lebih banyak pada masa depan dan berusaha duduk untuk
mengadakan solusi bagi isu-isu terdahulu dan memperbaiki masalah” kata
Rouhani.
Sumber : islampos.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar